MENUNDUKKAN PANDANGAN
Tujuan Instruksional
- Mengetahui
perihal menundukkan pandangan, yaitu dengan memberikan definisi
menundukkan pandangan
- Memahami
pentingnya menundukkan pandangan, yaitu dengan menguraikan berbagai hal
yang berkaitan den menundukkan pandangan.
- Menjaga diri
dari segala bentuk kemaksiatan melalui pandangan.
- Menggunakan
pandangan seoptimal mungkin untuk menjaga ketaatan kepada Allah untuk meraih
ridha-Nya
Titik Tekan Materi
Dengan pemberian materi tentang penundukan pandangan ini
maka seseorang akan terbentuk pribadi yang memiliki matinul khialuq. (3:15).
Materi ini menekankan pentingnya menundukkan/menjaga
pandangan, yaitu dengan menjauhi segala bentuk kemaksiatan melalui pandangan,
dan menggunakan pandangan seoptimal mungkin untuk taat kepada ketentuan Allah.
Bentuk kemaksiatan melalui pandangan antara lain adalah melihat lawan jenis
yang bukan mullrim melebihi keperluan, melihat atau membaca gambar atau tulisan
porno, dan mengintip hal-hal yang diharamkan dan lain-lain.
Pandangan mata syahwat merupakan salah satu bentuk
perzinaan (zina mata) yang dapat menjadi pintu untuk masuk pada zina yang
sebenarnya. Oleh karena itu hendaknya senantiasa memohon pertolongan Allah dan
senantiasa berusaha menghindarinya. Menggunakan mata untuk taat pada ketentuan
Allah antara lain meIalui aktivitas membaca dan mentadaburi ayat-ayat Allah,
baik ayat-ayat dalam A1-Qur"an maupun yang bempa ayat-ayat kauniyah, serta
menggunakan pandangan sebagai sarana untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan
kepada Allah. Allah menghendaki menundukkan pandangan baik pada muslim maupun
muslimah. (24:30-31)
Menundukkan/menahan pandangan hendaknya menjadi akhlak
muslim dan muslimah karena Allah mengingatkan melalui firman-Nya bahwa neraka
dijadikan untuk dipenuhi oleh manusia yang dikaruniai mata akan tetapi tidak
digunakan untuk melihat tanda-tanda kebesaran Allah (7:179, 18:100-101).
Menundukkan pandangan bukan berarti memejamkan mata atau
memalingkan muka yang mengakibatkan orang lain tersinggung, akan tetapi adalah
menggunakan mata untuk menjaga ketaatan kepada Allah. Allah mengingatkan pula
bahwa sesungguhnya penglihatan termasuk yang akan dimintai pertanggungjawaban
(17:36).
”Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya.”
Oleh karena itu hendaknya bersegera menggunakan
pandanganjmata untuk membaca ayat-ayat Allah, baik ayat-ayat Al-Qur'an maupun
ayat-ayat kauniyah, jangan menunggu mata rabun atau bahkan rusak.
Pokok-Pokok Materi
- Hakikat
menundukkan pandangan.
- Dalil Al-Qur'an
dan Sunnah tentang pentingnya menundukkan (menjaga) pandangan, siapa yang Allah kehendaki untuk menundukkan
(menjaga) pandangan dan peringatan agar menundukkan (menjaga) pandangan
- Kemaksiatan
melalui pandangan dan kiat-kiat menjauhinya.
- Kiat-kiat
menggunakan pandangan untuk taat ke; Allah.
Teknologi
Pembelajaran
Berikan pengantar bahwa topik yang dibahas adalah tentang
menundukkan pandangan dan sampaikan tujuan pembelajaran materi ini. Pancing
peserta mengemukakan pendapatnya tentang menundukkan pandangan. Luruskan dan
lengkapi tanggapan peserta tentang menundukkan pandangan disertai dalil-dalil
dalam Al-Qur'an dan Sunnah pendukungnya yang berupa perintah, peringatan
ataupun ancaman.
Kemukakan kisah Nabi Yusuf dengan Zulaikha beserta para wanita
tamunya dan kisah sahabat Ali yang dipalingkan wajahnya oleh Rasulullah ketika
memandang seorang wanita dan kisah-kisah lainnya. Pancing peserta mengemukakan
kiat-kiat menggunakan pandangan untuk meningkatkan ketaatan kepada Allah dalam
upaya meraih ridha-Nya. Lengkapi tanggapan peserta tentang kiat-kiat tersebut
sesuai target yang ditetapkan
Maraji'
- Imam Al-Ghazaly
(1976), Ihya 'Ulumuddin (Terj: Teuku Jakub, buku 3). CV Faizan,
Semarang.
- Ibnul Qayyim,
Raudhatul Muhihbin wa nuzhatul musytaqin
- 'Aidh
AI-Qarini, Ihfazhillaha
yahfazhkn.
Muraqabah dan Muhasabah
Tujuan Instruksional
Setelah mendapatkan materi ini, peserta mampu :
1. Mengontrol kondisi hatinya dan mengerti bagaimana mengobati aib dirinya.
2. Mujahadah dengan mengontrol hatinya.
Titik Tekan Materi
Pokok-pokok pikiran dan titik tekan materi yang harus disampaikan adalah:
Bahwa manusia itu lemah dan pasti selalu berbuat dosa (QS. 53:32). Tidak
ada manusia yang suci, sementara dunia begitu indah membuat manusia lalai dari dzikrullah
(dan dari mengumpulkan bekal untuk hari akhirat serta lupa bahwa malaikat
selalu mencatat dan semua akan dihisab). Apalagi serangan syaithan
bertubi-tubi, gencar dan pandai menipu manusia. Oleh karena itulah kontrol,
penguasaan dan pengendalian hati sangat penting agar manusia selalu
berdzikrullah sehingga dapat terhindar dari cengkraman syaithan (QS. 43:36)
Pokok-pokok Materi
1. Pengertian Muraqabah
dan Muhasabah
2. Urgensi bermuraqabah dan
bermuhasabah dalam kehidupan dakwah
3. Tahapan-tahapannya :
a. Mu’ahadah
b. Muraqabah
c. Muhasabah
d. Mu’aqabah
e. Mujahadah
f. Mutaba’ah
4. Buah / hasil yang
diharapkannya
a. Mengetahui aib dirinya
b. Istiqomah di atas
syari’ah Allah
c. Aman dari beratnya hisab di hari akhir (QS. 3:30)
5. Jalan mencapai Muraqabah dan Muhasabah yang benar
a. Mengingat manfaat Muraqabah
b. Mengingat akibatnya jika melalaikannya
c. Menyadari kedekatan Allah dan ilmuNya yang melingkupi segala sesuatu
d. Menyebut Asmaul Husna
yang dapat menghidupkan hatinya
Maraji’
Mushtaklas fi tazkiyatil
anfus; Said Hawwa, Tazkiyatun-nafs;
Muhammad bin Nuh; Mamarrat
Muqaddimah
“(Yaitu)
orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari
kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas ampunan-Nya. Dan Dia
lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu masih berupa
janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah
yang paling mengetahui tentang orang yang bertaqwa”.(QS. 53:32)
Ayat Allah SWT tersebut di
atas benar-benar menyadarkan kita akan kelemahan dan kenistaan kita sebagai
manusia yang sering kali berbuat kekhilafan. Bahwa seandainya pun kita
terhindar dari dosa-dosa besar, kita pasti tak akan luput dari dosa-dosa kecil.
Allah menegaskan bahwa kita jangan merasa dan mengklaim diri suci, karena Allah
sajalah yang paling mengetahui siapa yang bertaqwa dan yang tidak. Sementara
Allah juga tahu siapa diri kita sejak dari awal penciptaan, ketika masih berupa
janin di rahim ibu kita, hingga kita dewasa. Namun Ia
juga mengingatkan kita tentang ampunan-Nya yang luas.
Memang hanya satu insan kamil
yang ma’shum, yakni Rasulullah SAW. Beliau menjalani proses pembedahan
dada dan pembersihan jiwa oleh malaikat Jibril karena beliau dipersiapkan untuk
mengemban tugas mulia. Namun beliau juga pernah mengatakan bahwa kalau bukan
karena rahmat Allah niscaya tak akan ada yang selamat dari siksa Allah dan
neraka-Nya. “Tidak juga engkau ya Rasulullah?”. “Ya, tidak juga aku”.
Selain sifat manusia yang
lemah, mudah lupa, khilaf, kikir dan berkeluh kesah, penyebab terjerumusnya
manusia ke dalam lembah kenistaan dan kemaksiatan adalah godaan syaithan yang
gencar dari segala penjuru.
Dalam QS.
Az-Zukhruf:36-37, Allah SWT berfirman: “Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah
(Al-Qur’an), kami adakan baginya syaithan (yang menyesatkan). Maka syaithan
itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya (qarin). Dan sesungguhnya
syaithan-syaithan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan
mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk”.
Qarin alias syaithan yang
selalu mendampingi kita, akan sukses menggoda kita, jika kita berpaling
dari-Nya dan ajaran-Nya (Al-Qur’an). Sampai akhirnya kita terhalang dari jalan yang
lurus dan benar. Namun ironisnya, kita tetap menyangka berada di jalan yang
benar dan memperoleh petunjuk-Nya. Padahal kita sudah jauh tersesat.
Hanya Rasulullah SAW saja yang tak dapat digoda oleh Qarin. Bahkan Qarinpun
tak akan mampu menyerupai Rasulullah SAW baik ketika beliau masih hidup maupun
setelah meninggal dunia.
Menyadari begitu rentan dan lemahnya kita sebagai manusia dari godaan
syaithan yang menyesatkan dan menghalangi kita dari ajaran Allah serta
melalaikan kita dari mengingat-Nya, maka jelas pemahaman dan kesadaran
muraqabah dan muhasabah adalah satu kemestian.
Pengertian Muraqabah dan Muhasabah
Muraqabah adalah upaya diri untuk senantiasa merasa terawasi oleh Allah (muraqabatullah).
Jadi upaya untuk menghadirkan muraqabatullah dalam diri dengan jalan mewaspadai
dan mengawasi diri sendiri.
Sedangkan muhasabah merupakan usaha seorang Muslim untuk menghitung,
mengkalkulasi diri seberapa banyak dosa yang telah dilakukan dan mana-mana saja
kebaikan yang belum dilakukannya. Jadi Muhasabah adalah sebuah upaya untuk
selalu menghadirkan kesadaran bahwa segala sesuatu yang dikerjakannya tengah
dihisab, dicatat oleh Raqib dan Atib sehingga ia pun berusaha aktif menghisab
dirinya terlebih dulu agar dapat bergegas memperbaiki diri.
Urgensi Muraqabah dan Muhasabah
Bila setiap Muslim senantiasa
memuraqabahi dirinya dan menghadirkan muraqabatullah (pengawasan Allah) dalam
dirinya maka ia akan selalu takut untuk berbuat kemaksiatan karena ia selalu
merasa dan sadar dirinya dalam pemantauan dan pengawasan Allah.
Kemudian bila ia juga gemar memuhasabahi dirinya karena takut pada
perhitungan hari akhirat, maka bisa dipastikan akan terwujud masyarakat yang
aman karena semua orang sudah memiliki pengawasan melekat. Orientasi Ukhrawi
membuat seseorang senantiasa memperhitungkan segala tindak-tanduknya dalam
perspektif Ukhrawi. Ia juga akan
terhindar dari penyakit Wahn (cinta dunia dan takut mati), keserakahan,
kezhaliman, penindasan dan kemungkaran, karena semua keburukan itu hanya akan
menyengsarakannya di akhirat kelak.
Sebaliknya ia akan berusaha menanam kebajikan sebanyak mungkin (QS.
22:77) agar dapat menuai hasilnya di akhirat kelak. Ibnul Qayyim
Al-Jauziyah pernah mengibaratkan bahwa dunia adalah ladang tempat menanam,
bibitnya adalah keimanan dan ketaatan adalah air dan pupuknya. Sementara akhirat adalah tempat kita memetik atau
menuai hasilnya, kelak.
Bila demikian keadaannya,
Insya Allah akan tercipta “Baldatun thayyibatun warabbun ghafur” (negeri
yang baik, berkah dan dalam ampunan Allah) yang bukan sekedar slogan. Selain
tercipta kemaslahatan dalam scope atau ruang lingkup negeri, Insya Allah
akan tercipta pula kemaslahatan di ruang lingkup dunia internasioanal bila para
Muslimnya dengan kualitas seperti itu mampu menjadi “Ustadziatul ‘alam”
(soko guru dunia). Hanya dengan bimbingan dan arahan para ustadziatul ‘alam
yang sekaligus khalifatullah fil ardhi sajalah, dunia akan terbebas dari
bencana, kerusakan dan kemurkaan Allah (QS. 2:10-11, 30:41).
Namun bila para Muslim
tetap mengekor musuh-musuh Allah yang membenci Al-Qur’an (QS. 47:25-26)
maka bahaya kemurtadan massal menghadang di depan mata dan tetap saja yahudi la’natullah
alaihim yang memegang supremasi dan mengendalikan dunia serta terus
menimbulkan kerusakan dan menumpahkan darah.
Tahapan-tahapannya
Ada beberapa tahapan yang memiliki keterkaitan erat satu
sama lain dan membangun sistem pengawasan serta penjagaan yang kokoh. Kesemua
tahapan tersebut penting kita jalani agar benar-benar menjadi “safety net”
(jaring pengaman) yang menyelamatkan kita dari keterperosokan dan keterpurukan
di dunia serta kehancuran di akhirat nanti.
1. Mu’ahadah.
Mu’ahadah yakni mengingat
dan mengokohkan kembali perjanjian kita dengan Allah SWT di alam ruh. Di sana sebelum kita menjadi
janin yang diletakkan di dalam rahim ibu kita dan ditiupkan ruh, kita sudah
dimintai kesaksian oleh Allah, “Bukankah Aku ini Rabbmu?” Mereka menjawab:
“Benar (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi”.(QS. 7:172)
Dengan bermu’ahadah, kita
akan berusaha menjaga agar sikap dan tindak tanduk kita tidak keluar dari
kerangka perjanjian dan kesaksian kita.
Dan kita hendaknya selalu
mengingat juga bahwa kita tak hanya lahir suci (HR. Bukhari-Muslim) melainkan
sudah memiliki keberpihakan pada Al-haq dengan syahadah di alam ruh tersebut
sehingga tentu saja kita tak boleh merubah atau mencederainya (QS. 30:30)
2. Muraqabah.
Setelah bermu’ahadah,
seyogyanyalah kita bermuraqabah. Jadi kita akan sadar ada yang selalu
memuraqabahi diri kita apakah melanggar janji dan kesaksian tersebut atau
tidak.
Penjelasan yang detail
tentang muraqabah diuraikan dalam bagian tersendiri, karena tulisan ini memang
menitikberatkan pada pembahasan tentang muraqabah dan muhasabah.
3. Muhasabah.
Muhasabah adalah usaha
untuk menilai, menghitung, mengkalkulasi amal shaleh yang kita lakukan dan
kesalahan-kesalahan atau maksiat yang kita kerjakan. Penjabaran lebih detail
tentang muhasabah juga ada pada bagian tersendiri.
4. Mu’aqabah.
Selain mengingat perjanjian
(mu’ahadah), sadar akan pengawasan (muraqabah) dan sibuk mengkalkulasi diri,
kita pun perlu meneladani para sahabat dan salafus-shaleh dalam meng’iqab
(menghukum/menjatuhi sanksi atas diri mereka sendiri). Bila Umar r.a terkenal
dengan ucapan: “Hisablah dirimu sebelum kelak engkau dihisab”, maka tak ada
salahnya kita menganalogikan mu’aqabah dengan ucapan tersebut yakni “Iqablah
dirimu sebelum kelak engkau diiqab”. Umar Ibnul Khathab pernah terlalaikan dari
menunaikan shalat dzuhur berjamaah di masjid karena sibuk mengawasi kebunnya.
Lalu karena ia merasa ketertambatan hatinya kepada kebun melalaikannya dari
bersegera mengingat Allah, maka ia pun cepat-cepat menghibahkan kebun beserta
isinya tersebut untuk keperluan fakir miskin. Hal serupa itu pula yang
dilakukan Abu Thalhah ketika beliau terlupakan berapa jumlah rakaatnya saat
shalat karena melihat burung terbang. Ia pun segera menghibahkan kebunnya
beserta seluruh isinya, subhanallah.
5. Mujahadah
Mujahadah adalah upaya keras untuk bersungguh-sungguh
melaksanakan ibadah kepada Allah, menjauhi segala yang dilarang Allah dan
mengerjakan apa saja yang diperintahkan-Nya. Kelalaian sahabat Nabi SAW yakni
Ka’ab bin Malik sehingga tertinggal rombongan saat perang Tabuk adalah karena
ia sempat kurang bermujahadah untuk mempersiapkan kuda perang dan sebagainya.
Ka’ab bin Malik mengakui dengan jujur kelalaian dan kurangnya mujahadah pada
dirinya.
Ternyata Kaab harus membayar sangat mahal berupa
pengasingan/pengisoliran selama kurang lebih 50 hari sebelum akhirnya turun
ayat Allah yang memberikan pengampunan padanya.
Rasulullah Muhammad SAW
terkenal dengan mujahadahnya yang luar biasa dalam ibadah seperti dalam shalat
tahajjudnya. Kaki beliau sampai bengkak karena terlalu lama berdiri. Namun
ketika isteri beliau Ummul Mukminin Aisyah r.a bertanya, “Kenapa engkau
menyiksa dirimu seperti itu, bukankah sudah diampuni, seluruh dosamu yang lalu
dan yang akan datang”. Beliau menjawab. “Salahkah aku bila menjadi ‘abdan
syakuran?”.
6. Mutaba’ah.
Terakhir kita perlu
memonitoring, mengontrol dan mengevaluasi sejauh mana proses-proses tersebut
seperti mu’ahadah dan seterusnya berjalan dengan baik.
Muraqabah
Muraqabah atau perasaan
diawasi adalah upaya menghadirkan kesadaran adanya muraqabatullah
(pengawasan Allah). Bila hal tersebut tertanam secara baik dalam diri seorang
Muslim maka dalam dirinya terdapat ‘waskat’ (pengawasan melekat atau built
in control) yakni sebuah mekanisme yang sudah inheren, dalam dirinya.
Artinya ia akan aktif mengawasi dan mengontrol dirinya sendiri karena ia sadar
senantiasa berada di bawah pengawasan Allah seperti dalam untaian ayat-ayat
Allah berikut ini:
“...Dan Dia bersama kamu di mana
saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.(QS.
57:4), “Dan sesungguhnya Kami
telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan hatinya, dan kami
lebih dekat kepadanya dari urat lehernya”.(QS. 50:16), “Dan pada sisi Allahlah kunci-kunci semua
yang ghaib, tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri dan Dia mengetahui
apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur
melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir pun dalam kegelapan
bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam
kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)”.(QS. 6:59)
(Luqman berkata) : “Hai anakku, sesungguhnya
jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi dan berada dalam batu atau di
langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya)
sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui”.(QS. 31:16)
Kemudian dalam HR. Ahmad,
Nabi SAW bersabda, “Jangan engkau mengatakan engkau sendiri, sesungguhnya
Allah bersamamu. Dan jangan pula mengatakan tak ada yang mengetahui isi
hatimu, sesungguhnya Allah mengetahui”.
Muraqabatullah atau kesadaran tentang adanya pengawasan Allah akan
melahirkan ma’iyatullah (kesertaan Allah) seperti nampak pada keyakinan
Rasulullah SAW (QS. 9:40) bahwa “Sesungguhnya Allah bersama kita”
ketika Abu Bakar r.a sangat cemas musuh akan bisa mengetahui keberadaan Nabi
dan menangkapnya. Begitu pula pada diri Nabi Musa a.s ketika menghadapi jalan
buntu karena di belakang tentara Fir’aun mengepung dan laut merah ada di depan
mata. Namun ketika umat pengikutnya panik dan ketakutan, beliau sangat yakin
adanya kesertaan Allah. Ia berkata, “Sekali-kali tidak (akan tersusul).
Rabbku bersamaku. Dia akan menunjukiku jalan”.
Kemudian akhirnya Nabi Ibrahim a.s juga dapat menjadi contoh agung tentang
kesadaran akan kesertaan dan pertolongan Allah. Yakni ketika beliau diseret dan
dibakar di api unggun, beliau tetap tenang. Dan benar saja terbukti beliau
keluar dari api unggun dalam keadaan sehat wal ’afiat karena Allah telah
memerintahkan makhluknya yang bernama api agar menjadi dingin dengan izin dan
kehendak-Nya.
Muhasabah
Muhasabah atau menghisab, menghitung atau mengkalkulasi diri adalah satu
upaya bersiap-siaga menghadapi dan mengantisipasi yaumal hisab (hari
perhitungan) yang sangat dahsyat di akhirat kelak.
Allah SWT: “Hai
orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri,
memperhatikan bekal apa yang dipersiapkannya untuk hari esok (kiamat).
Bertaqwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan”.(QS. 59:18). Persiapan diri yang dimaksud tentu saja
membekali diri dengan taqwa kepada karena di sisi Allah bekal manusia yang
paling baik dan berharga adalah taqwa.
Umar r.a pernah mengucapkan
kata-katanya yang sangat terkenal: “Haasibu anfusakum qabla antuhasabu”
(Hisablah dirimu sebelum kelak engkau dihisab).
Allah SWT juga menyuruh kita bergegas untuk
mendapat ampunan-Nya dan syurga-Nya yang seluas langit dan bumi,
diperuntukkan-Nya bagi orang-orang yang bertaqwa.(QS 3:133)
Begitu pentingnya kita
melakukan muhasabah sejak dini secara berkala karena segala perkataan dan
perbuatan kita dicatat dengan cermat oleh malaikat Raqib dan Atid dan akan dimintakan
pertanggungjawabannya kelak di hadapan Allah.( QS. 50:17-18). Setiap
kebaikan sekecil apapun juga akan dicatat dan diberi ganjaran dan keburukan
sekecil apapun juga akan dicatat dan diberi balasan berupa azab-Nya.(QS.
99:7-8)
Bila kita mengingat betapa
dahsyatnya hari penghisaban, perhitungan dan pembalasan, maka wajar sajalah
jika kita harus mengantisipasi dan mempersiapkan diri sesegera, sedini dan
sebaik mungkin.
=Dalam QS. 80:34-37,
tergambar kedahsyatan hari itu ketika semua orang berlarian dari saudara,
kerabat, sahabat, ibu dan bapaknya serta sibuk memikirkan nasibnya sendiri.
Hari di mana semua manusia pandangannya membelalak ketakutan, bulan meredup
cahayanya, matahari dan bulan dikumpulkan, manusia berkata: “Kemana tempat
lari?. Sekali-kali tidak! Tidak ada tempat berlindung. Hanya kepada Tuhanmu
saja pada hari itu tempat kembali”.(QS. 75:7-12)
Ummul Mu’minin Aisyah r.a
bertanya kepada Rasulullah SAW apakah manusia tidak malu dalam keadaan
telanjang bulat di padang
mahsyar. Rasulullah SAW menjawab bahwa hari itu begitu dahsyat sampai-sampai
tidak ada yang sempat melihat aurat orang lain.
Rasulullah SAW juga pernah
bersabda bahwa ada 7 golongan yang akan mendapat naungan/perlindungan Allah di
mana di hari tidak ada naungan/perlindungan selain naungan/perlindungan Allah
(Yaumul Qiyamah atau Yaumul Hisab). Ketujuh golongan itu adalah Imam yang
adil, pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah SWT, pemuda yang lekat
hatinya dengan masjid, orang yang saling mencintai karena Allah; bertemu dan berpisah
karena Allah, orang yang digoda wanita cantik lagi bangsawan dia berkata,
“Sesungguhnya aku takut kepada Allah”, orang yang bersedekah dengan tangan
kanannya sementara tangan kirinya tidak mengetahuinya (secara
senbunyi-sembunyi) dan orang yang berkhalwat dengan Allah di tengah malam dan
meneteskan airmata karena takut kepada Allah.
Dalam sebuah hadits
disebutkan bahwa orang yang pertama dihisab adalah mereka yang berjihad,
berinfaq dan beramal shaleh (QS. 22:77, 2:177). Kemudian sabda
Rasulullah SAW di hadits lainnya: “Ada
70.000 orang akan segera masuk surga tanpa dihisab”. “Do’akan aku termasuk
di dalamnya, ya Rasulullah!”, mohon Ukasyah bersegera. “Ya, Engkau kudo’akan
termasuk di antaranya”, sahut Nabi SAW. Ketika sahabat-sahabat yang lain
meminta yang serupa, jawab Nabi SAW singkat, “Kalian telah didahului oleh
Ukasyah”. “Siapa mereka itu ya Rasulullah?”, tanya sahabat. “Mereka
adalah orang yang rajin menghisab dirinya di dunia sebelum dihisab di akhirat”.
Subhanallah.
Di riwayat lain dikisahkan
bahwa orang-orang miskin bergerombol di depan pintu surga. Ketika dikatakan
kepada mereka agar antri dihisab dulu, orang-orang miskin yang shaleh ini
berkata, “Tak ada sesuatu apapun pada kami yang perlu dihisab”.
Dan memang ada 3 harta yang
tak akan kena hisab yakni: 1 rumah yang hanya berupa 1 kamar untuk bernaung,
pakaian 1 lembar untuk dipakai dan 1 porsi makanan setiap hari yang sekedar
cukup untuk dirinya. Maka orang-orang miskin itupun dipersilakan masuk ke surga
dengan bergerombol seperti kawanan burung.
Betapa beruntungnya mereka
semua padahal hari penghisaban itu begitu dahsyatnya sampai banyak yang ingin
langsung ke neraka saja karena merasa tak sanggup segala aibnya diungkapkan di
depan keseluruhan umat manusia. Apalagi tak lama kemudian atas perintah Allah,
malaikat Jibril menghadirkan gambaran neraka yang dahsyat ke hadapan mereka
semua sampai-sampai para Nabi dan orang-orang shaleh gemetar dan berlutut
ketakutan. Apalagi orang-orang yang berlumuran dosa.
Yaumul Hisab itu bahkan
juga terasa berat bagi para Nabi seperti Nabi Nuh yang ditanya apakah ia sudah
menyampaikan risalah-Nya atau Nabi Isa yang ditanya apakah ia menyuruh umatnya
menuhankan ia dan ibunya sebagai dua tuhan selain Allah. Pertanyaan yang datang
bertubi-tubi itu terlihat menekan dan meresahkan para Nabi. Jika Nabi-nabi saja
demikian keadaannya, bagaimana pula kita ?.
Mudah-mudahan saja kita tidak termasuk orang yang bangkrut/pailit di hari
penghisaban, hari ketika dalih-dalih ditolak dan hal sekecil apapun dimintakan
pertanggungjawabannya. Mengapa disebut bangkrut? Karena ternyata amal shaleh
yang dilakukan terlalu sedikit untuk menebus dosa-dosa kita yang banyak
sehingga kita harus menebusnya di neraka. Na’udzubillah min dzalik.
Hasil Muraqabah dan Muhasabah
Seseorang yang rajin me’muraqabah’i dan me’muhasabah’i
dirinya akan mau dan mudah melakukan perbaikan diri. Ia juga akan mau meneliti,
mengintrospeksi, mengoreksi dan menganalisis dirinya. Hal-hal apa saja yang
menjadi faktor kekuatan dirinya yang harus disyukuri dan dioptimalkan. Kemudian
hal-hal apa saja yang menjadi faktor kelemahan dirinya yang harus diatasi,
bahkan kalau mungkin dihilangkan. Lalu bahaya-bahaya apa yang mengancam diri
dan aqidahnya sehingga harus diantisipasi, dan akhirnya peluang-peluang
kebajikan apa saja yang dimilikinya yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Jika dirinci, paling tidak, ada 3 hasil yang akan diraih orang yang rajin
melakukan muraqabah dan muhasabah :
1. Mengetahui aib,
kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan dirinya serta berupaya sekuat
tenaga meminimalisir atau bahkan menghilangkannya.
2. Istiqamah di atas
syari’at Allah. Karena ia mengetahui dan sadar akan konsekuensi-konsekuensi
keimanan dan pertanggungjawaban di akhirat kelak maka cobaan sebesar apapun
tidak akan memalingkannya dari jalan Allah seperti misalnya tokoh Bilal dan
Masyitah. Walaupun keistiqamahan adalah hal yang sangat berat sehingga
Rasulullah SAW sampai mengatakan, “Surat Hud membuatku beruban” (Karena
di dalamnya ada ayat 112 berisi perintah untuk istiqamah).
3. Insya Allah akan aman
dari berat dan sulitnya penghisaban di hari kiamat nanti (QS. 3:30)