Kamis, 26 Juni 2014

cerpen_ pacarku kakaku sendiri


Pacarku Kakakku Sendiri
oleh : irnovia ririn
            Sudah satu jam, aku harus menghitung digit sms yang muncul dalam ponselku, seperti deret aritmetika bahkan mirip dengan persamaan linear dalam matrik. Tak ada hasinya sedikitpun, justru raungan nyamuk seakan terus mengusirku disini, di malam syahdu ini dan nyatanya kau tak datang sampai jam sepuluh malam.
            “ Huh, dasar pembohong !” ocehanku penuh kesal, beriringan dengan rebahan tubuhku di ranjang dengan melirik target hidupku satu tahun kedepan. Lima menit berlalu, tanpa sadar sms memenuhi ponselku, tapi tak ada satupun ucapan maaf darimu. Aku kesal, perlahan pikiran melupakan mulai muncul dan memang tengah menggerogoti hatiku. “ Selamat malam, Happy birthday to you”. Suara itu aku benar-benar tak asing kalau saat ini aku tengah tertutup oleh silet yang tajam dan dengan rasa kantuk berton-ton. Mencoba ku buka mataku lebar-lebar tapi memang suara itu tak pernah ada malam ini. Ah, aku terlalu bodoh masih mengharapkannya padahal aku telah ragu dengannya sekarang.
“ Jebred !” Brakk! Brakk!”
Suara pintu nyaris mengebom pintu kos-kosanku. Bising sekali sepagi buta ini. Dengan langkah malas kubuka pintu itu. Huh, kunang-kunang telah datang saat ini, pelangi telah redup kembali dan langit tak akan bersinar terang kembali... semuanya kosong, tak menarik hatiku kembali.
“ Ca, Ditya di rumah sakit” suara Melati panik.
            Aku bahkan tak merespon. Hanya menghadap dengan pandangan kosong. Tanpa berkutik bahkan hatiku tak menyuruhku untuk bicara. Hanya diam dan tagihan jawaban dari melati.
“ Ca, kamu kenapa...” sambil menggenggam tubuhku seperti sedang menyadarkannku. Belum puasa hanya dengan itu, Melati memegang wajahku sementara aku tetap bersih keras untuk menunduk dan tetap diam.
            Mungkin melati mulai kesal denganku, hingga bentakan terus datang dan sayangnya hatiku memang sudah beku. “ ya udah ! aku depan !” pamit Melati. Berangsur-angsur kakiku bergerak mundur menjauhinya dan melepaskan gagang pintu hingga mengagetkannya. “ Kenapah sit Dit, tadi malam kau tak datang...” penyesalanku dan rengekanku mericuh.
            Sudah seminggu aku baru menginjakkan kakiku di sekolahan ini. Sejak saat itu pula, ku tak pernah bertegur sapa dengannya. Dengan Melati dan dengan Ditya. Apakah mereka baik- baik saja? Pertanyaanku setelah kupandang kursi taman yang kosong dan perpustakaan yang sepi. Ternyata khayalku mengembang lagi dan mereka-mereka yang tak berarti.
            Baru saja ku hempaskan khayal barusan. Aku harus terjatuh ke dalam jurang yang dalam, terasa sesak nafasku perlahan air mata menitik. Langkah kakipun terhenti, tubuh kaku terguyur es kutub utara, bahkan kakiku seperti lumpuh seketika....oh. kejamnya dunia, ranum wajah yang ku sayang telah menghancurkanku. Sakit... sakit Tuhan.
“ hey Ca, sejak kapan kau berdiri disini?” tanya Melati. Aku hanya diam. Mulut berubah menjadi batu bsar yang harus kuangkat sendiri. Aku tak mampu berkata- kata, tersenyumpun kecut sekali. Aku memang tak sanggup.
“ Ca, Kita duluan yach” lanjut Melati sambil menarik tangan Ditya yang terus menghintung jatuhnya airmataku.
            Ternyata khayal negatifku sedang menanggal sekarang. Terlalu lamakah aku pergi Ditya? Terlalu bosankah kau menungguku kembali? Atau apa ini alasanmu tak datang malam itu? Sungguh, kakiku tak bisa dihitung lagi, hanya berjalan dan masuk ruangan dengan langkah kaki yang semakin melambat dan ga bisa di munculakn semangatku dalam binar- binar mataku sebelumnya.
            Bel masuk terdengar. Aku sengaja lebih dulu duduk daripada mereka. Hatiku kalut sudah, semangatku rontok seperti rontoknya daun di musim gugur. Seperti Victoria yang terkulai lemas dengan kenyatan yang sebenarnya. Ah sudahlah, aku bukan manusia lemah! Hatiku sendiri yang menyemangatiku. Tapi telah roboh juga motivasiku itu. Pandanganku menerobos dengan ceria riang di depanku Ditya bermesraan dengan Melati. Dengan sahabatku sendiri.
Aku tak sanggup, dadaku sesak...
“ Ca, Tolong tutup pintu itu !” pinta Bu Heny
Terasa lega pintu tertutup. Hatiku mulai tenang, mulai lapang kembali. Terjaga hingga bel isirahat tiba.
“ Teng! Teng! Teng!”
            Semua siswa menerobos pintu untuk keluar. Aku diam dengan headset di kepala. Mengikuti irama dan menghibur diri. Dunia memang gugur malam ini tapi waktu ini tak boleh gugur. Dunia boleh saja gelap tapi ranum wajahku harus tetap ceria, walaupun aku tengah benci. Biarlah sahabatku benci atas sikapku, toh seharusnya itu buat dia sadar. Ditya... dasar kau pembohong ! kau selalu sakiti aku.
            Suasana pengap, sunyi tak ada langkah kaki. Ada apa? Perlahan otakku mulai menyadarkan diri. Mulai membungkam dan ingin menarik kata-kata barusan. Tapi sayang, kata dalah kata dan tak bisa datang untuk diganti. Mulutmu adalah harimaumu.“ sejak kapan kau berdiri disini?” tanyaku pada Ditya. Pertanyaan yang sama yang di lontarkan melati saat dia tahu aku memperhatikannya yang tengah berduaan dengan Ditya. Kali ini, Ditya menatapku dalam-dalam. Menatap hatiku lewat kedua mataku. Hingga kata yang tak boleh keluar. Meloncat bebas dari mulutku dan terbang mengembangkan Pdnya lagi.
“ kenapa kau lakukan ini padaku?”
“ ditya, kenapa kau tak datang malam itu?” Ditya, memang tak pernah berubah dari dulu. Jangankan berubah, bertutur kasarpun tak pernah. Lalu, apa arti semua ini ? otakku terus bekerja tanpa batas. Lebih cepat dan lebih cerdas dari aku menjawab soal matematik dan logikaku pupus lagi setelah Melati datang menyeret tangan Ditya. Aku menyesal..Ditya... kenapa kau lemah sekali ! huh.
“ sudah ! jangan menangis ! Ditya memang pengecut.!” Lirih Arga di telingaku dengan hati-hati. “ Siapa kau? Menghujat Ditya seenaknya!” Bentakku marah pada Arga. Tak dijawab, tak marah justru Arga membawaku pergi ke taman. Tak usahlah kau ingatkan lagi, pintaku dalam hati. Dia tak bicara apapun tapi mataku lebih peka dengan sosok Ditya. Kali ini aku harus berani. Darahku telah terbakar dan telah mendidih.
“ Apa- apaan Ditya?” tanyaku geram. Ditya hanya bingung, dan menunduk kaget dengan keberanianku, mungkin. “ Emang ap yang Loe lihat Ca?” jawab Melati membela Ditya yang justru semakin buat aku benci dan mendidih. “ Plakk! Plakk! Jadi ini balasan untuk sahabat kamu, Mel! Bagus !!!! bukankah kau sudah tahu, Ditya itu pacarku? Lancang kau Mel, aku tak menyangka !” jawbku sambil meninggalkannnya sementara Arga terus menenangkannku. Ada rasa bersalah dimatanya.
            Betapa langit ikut merasakan pedihnya, tertunduk menatapku dengan airmata. Dingin sedingin salju menyusup ke dalam sum-sumku dan terkualai lemas dengan deru nestapa... tertatih lunglai tanpa rasa ceria semua terhempas begitu saja. Apa yang membuat kau begini Ditya? “ Ca, tunggu aku. Semua bisa diperjelas” teriak ditya yang jauh tertinggal di belakangku. Kakiku berhenti menengok kebelakang dengan wajah yang masih merah pekat.
“ semua sudah jelas !belum cukup kau sakiti aku?” jawabku dengan lunglai. Tuhan, kenapa aku teralalu lemah di hadapannya.. terlalu rapuh, dengan kata-katanya.. terlalu.. ah sudahlah. “ Maafkan aku Ca, Kamu ingat waktu malam itu tak datang?” aku tak menyahut. Karena terlalu perih dengan semuanya. Dia mulai mencertiakannya. Berbalik pada dua minggu ke belakang. Ditya memang ke rumahku dan ingin menjeputku untuk pergi bersama ke taman tapi waktu itu papa lah yang membuka pintu itu dan menyuruhnya pulang. Katanya   pap ngomong siapa kau ? datang ke rumahku ? punya apa ? keluargamu bagaimana ? udah kerja? Mau sekolah lagi dimana? Dan yang terlalu bengis papa mengusirnya dengan bentakan “ tinggalkan anakku kalau tidak ibumu akan masuk penjara.
             Langit seakan mau ambrol dan langit seakan menenggelamkanku. Aku tak percaya papa sejahat itu denganku. Tapi, kenapa Ditya jemput aku di rumahku bukankah dia tahu aku ada di kos-kosan atau mungkinkah Ditya yang menginginkan hubungan ini kandas?  Secepat kilat ku tarik tangan Ditya, ku bawa dia di depan pintu rumahku. Sesuai dengan harapan papa yag membuka pintu itu. “ Pa, emang papa pernah mengusir Ditya ?” mimic wajahnya erubah menjadi membiru. Ada dua kemungkinan, Ditya bohong padaku atau Ditya kedinginan karena alam sedang berpihak denganku.
            Sudah lima menit, papa hanya melirik pergantian antara mata kiri dan kananya. Aku tak bisa menangkap bayangan apapun. Sengaja aku ulang kembali pertanyaanku dengan nada yang lebih membentak. Tapi papa tetap saja diam. Ditya selalu menunduk. Benarkah bahwa Ditya adalah pengecut?
Jebred ! ku bantingpintu itu, kesal benar melihat sikap papa yang tak biasanya begitu. Aku yakin ada sesuatu yang disembunyikan oleh mereka. Benar ternyata, papa mulai berbiara manis layak ayah dengan anak laki-lakinya yang mengandung unsure rindu berjuta-juta. Aku lihat papa memeluknya dngan tangis dan bahagia, ada apa sebenarnya? “ Dit, papa tak mau ada yang terluka diantara kalian”
“ ya,pa” kenapa ditya panggil papa dengan sebutan papa dan menyebut dirinya papa dihadapan ditya, pacarku?
“ kenapa kau tak kasi tahu yang sebenarnya sayang?”
“ aku tak sanggup. Beri aku waktu. Aku sangat mencintainya. Bahkan Caca adalah wakil dalam hidupku biarpun aku tak mungkin bersama.”
            Sebenarnya?kebenaran yang mana ? aku butuh tahu itu, kenapa aku teralalu bodoh sekarang. “ kebenaran yang mana? Kenapa kita tak bisa bertanya Ditya?” tanyaku seketika. Mereka saling berpandangan.” Kenapa kau sebut papa?” tanyaku kemudian.”dan kenapa papa panggil Ditya sayang?” tanyaku beruntut sepur bahkan papa tak mengeluarkan apapun. Kali ini papa menunggureaksi Ditya. “ kenapa semua tak jujur!”
“ Ca, mungkin kau harus tau sekarang. Walau mungkin berat. Sebenarnya…sebenarnya… aku tak mampu pa!” tangis Ditya, baru kali ini aku lihat sang pangeran hidupku menangis di depanku… “ tau apa pa ?” pertanyaanku kali ini menjurus papa!” Ditya adalah anak dari pacar papa”
“ terus hubungannya apa? Bukankah Cuma masa lalu?” potongku
“ Ditya adalah anak pacar papa dengan papa Ca!”
            Oh…. Laying-layang yang akan bawa aku terbang, mentari yang buat aku tersenyum akan menjadi duri seperti saat sekarang ini dan membatu, terpisah bagai air dan minyak. Tak mungkin akan bersama… padahal sang mentari mencintainya sepenuh hidupnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar