Pacarku
Kakakku Sendiri
oleh : irnovia ririn
Sudah
satu jam, aku harus menghitung digit sms yang muncul dalam ponselku, seperti
deret aritmetika bahkan mirip dengan persamaan linear dalam matrik. Tak ada
hasinya sedikitpun, justru raungan nyamuk seakan terus mengusirku disini, di
malam syahdu ini dan nyatanya kau tak datang sampai jam sepuluh malam.
“
Huh, dasar pembohong !” ocehanku penuh kesal, beriringan dengan rebahan tubuhku
di ranjang dengan melirik target hidupku satu tahun kedepan. Lima menit
berlalu, tanpa sadar sms memenuhi ponselku, tapi tak ada satupun ucapan maaf
darimu. Aku kesal, perlahan pikiran melupakan mulai muncul dan memang tengah
menggerogoti hatiku. “ Selamat malam, Happy birthday to you”. Suara itu aku
benar-benar tak asing kalau saat ini aku tengah tertutup oleh silet yang tajam
dan dengan rasa kantuk berton-ton. Mencoba ku buka mataku lebar-lebar tapi
memang suara itu tak pernah ada malam ini. Ah, aku terlalu bodoh masih
mengharapkannya padahal aku telah ragu dengannya sekarang.
“ Jebred !” Brakk! Brakk!”
Suara pintu nyaris mengebom pintu
kos-kosanku. Bising sekali sepagi buta ini. Dengan langkah malas kubuka pintu
itu. Huh, kunang-kunang telah datang saat ini, pelangi telah redup kembali dan
langit tak akan bersinar terang kembali... semuanya kosong, tak menarik hatiku
kembali.
“ Ca, Ditya di rumah sakit” suara
Melati panik.
Aku
bahkan tak merespon. Hanya menghadap dengan pandangan kosong. Tanpa berkutik
bahkan hatiku tak menyuruhku untuk bicara. Hanya diam dan tagihan jawaban dari
melati.
“ Ca, kamu kenapa...” sambil
menggenggam tubuhku seperti sedang menyadarkannku. Belum puasa hanya dengan
itu, Melati memegang wajahku sementara aku tetap bersih keras untuk menunduk
dan tetap diam.
Mungkin
melati mulai kesal denganku, hingga bentakan terus datang dan sayangnya hatiku
memang sudah beku. “ ya udah ! aku depan !” pamit Melati. Berangsur-angsur
kakiku bergerak mundur menjauhinya dan melepaskan gagang pintu hingga
mengagetkannya. “ Kenapah sit Dit, tadi malam kau tak datang...” penyesalanku
dan rengekanku mericuh.
Sudah
seminggu aku baru menginjakkan kakiku di sekolahan ini. Sejak saat itu pula, ku
tak pernah bertegur sapa dengannya. Dengan Melati dan dengan Ditya. Apakah
mereka baik- baik saja? Pertanyaanku setelah kupandang kursi taman yang kosong
dan perpustakaan yang sepi. Ternyata khayalku mengembang lagi dan mereka-mereka
yang tak berarti.
Baru
saja ku hempaskan khayal barusan. Aku harus terjatuh ke dalam jurang yang
dalam, terasa sesak nafasku perlahan air mata menitik. Langkah kakipun terhenti,
tubuh kaku terguyur es kutub utara, bahkan kakiku seperti lumpuh
seketika....oh. kejamnya dunia, ranum wajah yang ku sayang telah
menghancurkanku. Sakit... sakit Tuhan.
“ hey Ca, sejak kapan kau berdiri
disini?” tanya Melati. Aku hanya diam. Mulut berubah menjadi batu bsar yang
harus kuangkat sendiri. Aku tak mampu berkata- kata, tersenyumpun kecut sekali.
Aku memang tak sanggup.
“ Ca, Kita duluan yach” lanjut
Melati sambil menarik tangan Ditya yang terus menghintung jatuhnya airmataku.
Ternyata
khayal negatifku sedang menanggal sekarang. Terlalu lamakah aku pergi Ditya?
Terlalu bosankah kau menungguku kembali? Atau apa ini alasanmu tak datang malam
itu? Sungguh, kakiku tak bisa dihitung lagi, hanya berjalan dan masuk ruangan
dengan langkah kaki yang semakin melambat dan ga bisa di munculakn semangatku
dalam binar- binar mataku sebelumnya.
Bel
masuk terdengar. Aku sengaja lebih dulu duduk daripada mereka. Hatiku kalut
sudah, semangatku rontok seperti rontoknya daun di musim gugur. Seperti
Victoria yang terkulai lemas dengan kenyatan yang sebenarnya. Ah sudahlah, aku
bukan manusia lemah! Hatiku sendiri yang menyemangatiku. Tapi telah roboh juga
motivasiku itu. Pandanganku menerobos dengan ceria riang di depanku Ditya
bermesraan dengan Melati. Dengan sahabatku sendiri.
Aku tak sanggup, dadaku sesak...
“ Ca, Tolong tutup pintu itu !”
pinta Bu Heny
Terasa lega pintu tertutup. Hatiku
mulai tenang, mulai lapang kembali. Terjaga hingga bel isirahat tiba.
“ Teng! Teng! Teng!”
Semua
siswa menerobos pintu untuk keluar. Aku diam dengan headset di kepala.
Mengikuti irama dan menghibur diri. Dunia memang gugur malam ini tapi waktu ini
tak boleh gugur. Dunia boleh saja gelap tapi ranum wajahku harus tetap ceria,
walaupun aku tengah benci. Biarlah sahabatku benci atas sikapku, toh seharusnya
itu buat dia sadar. Ditya... dasar kau pembohong ! kau selalu sakiti aku.
Suasana
pengap, sunyi tak ada langkah kaki. Ada apa? Perlahan otakku mulai menyadarkan
diri. Mulai membungkam dan ingin menarik kata-kata barusan. Tapi sayang, kata
dalah kata dan tak bisa datang untuk diganti. Mulutmu adalah harimaumu.“ sejak
kapan kau berdiri disini?” tanyaku pada Ditya. Pertanyaan yang sama yang di
lontarkan melati saat dia tahu aku memperhatikannya yang tengah berduaan dengan
Ditya. Kali ini, Ditya menatapku dalam-dalam. Menatap hatiku lewat kedua
mataku. Hingga kata yang tak boleh keluar. Meloncat bebas dari mulutku dan
terbang mengembangkan Pdnya lagi.
“ kenapa kau lakukan ini padaku?”
“ ditya, kenapa kau tak datang
malam itu?” Ditya, memang tak pernah berubah dari dulu. Jangankan berubah,
bertutur kasarpun tak pernah. Lalu, apa arti semua ini ? otakku terus bekerja
tanpa batas. Lebih cepat dan lebih cerdas dari aku menjawab soal matematik dan
logikaku pupus lagi setelah Melati datang menyeret tangan Ditya. Aku
menyesal..Ditya... kenapa kau lemah sekali ! huh.
“ sudah ! jangan menangis ! Ditya
memang pengecut.!” Lirih Arga di telingaku dengan hati-hati. “ Siapa kau?
Menghujat Ditya seenaknya!” Bentakku marah pada Arga. Tak dijawab, tak marah
justru Arga membawaku pergi ke taman. Tak usahlah kau ingatkan lagi, pintaku
dalam hati. Dia tak bicara apapun tapi mataku lebih peka dengan sosok Ditya.
Kali ini aku harus berani. Darahku telah terbakar dan telah mendidih.
“ Apa- apaan Ditya?” tanyaku geram.
Ditya hanya bingung, dan menunduk kaget dengan keberanianku, mungkin. “ Emang
ap yang Loe lihat Ca?” jawab Melati membela Ditya yang justru semakin buat aku
benci dan mendidih. “ Plakk! Plakk! Jadi ini balasan untuk sahabat kamu, Mel!
Bagus !!!! bukankah kau sudah tahu, Ditya itu pacarku? Lancang kau Mel, aku tak
menyangka !” jawbku sambil meninggalkannnya sementara Arga terus
menenangkannku. Ada rasa bersalah dimatanya.
Betapa
langit ikut merasakan pedihnya, tertunduk menatapku dengan airmata. Dingin
sedingin salju menyusup ke dalam sum-sumku dan terkualai lemas dengan deru
nestapa... tertatih lunglai tanpa rasa ceria semua terhempas begitu saja. Apa
yang membuat kau begini Ditya? “ Ca, tunggu aku. Semua bisa diperjelas” teriak
ditya yang jauh tertinggal di belakangku. Kakiku berhenti menengok kebelakang
dengan wajah yang masih merah pekat.
“ semua sudah jelas !belum cukup
kau sakiti aku?” jawabku dengan lunglai. Tuhan, kenapa aku teralalu lemah di
hadapannya.. terlalu rapuh, dengan kata-katanya.. terlalu.. ah sudahlah. “
Maafkan aku Ca, Kamu ingat waktu malam itu tak datang?” aku tak menyahut.
Karena terlalu perih dengan semuanya. Dia mulai mencertiakannya. Berbalik pada
dua minggu ke belakang. Ditya memang ke rumahku dan ingin menjeputku untuk
pergi bersama ke taman tapi waktu itu papa lah yang membuka pintu itu dan
menyuruhnya pulang. Katanya pap
ngomong siapa kau ? datang ke rumahku ? punya apa ? keluargamu bagaimana ? udah
kerja? Mau sekolah lagi dimana? Dan yang terlalu bengis papa mengusirnya dengan
bentakan “ tinggalkan anakku kalau tidak ibumu akan masuk penjara.
Langit seakan mau ambrol dan langit seakan
menenggelamkanku. Aku tak percaya papa sejahat itu denganku. Tapi, kenapa Ditya
jemput aku di rumahku bukankah dia tahu aku ada di kos-kosan atau mungkinkah
Ditya yang menginginkan hubungan ini kandas?
Secepat kilat ku tarik tangan Ditya, ku bawa dia di depan pintu rumahku.
Sesuai dengan harapan papa yag membuka pintu itu. “ Pa, emang papa pernah
mengusir Ditya ?” mimic wajahnya erubah menjadi membiru. Ada dua kemungkinan,
Ditya bohong padaku atau Ditya kedinginan karena alam sedang berpihak denganku.
Sudah lima menit, papa hanya melirik
pergantian antara mata kiri dan kananya. Aku tak bisa menangkap bayangan apapun.
Sengaja aku ulang kembali pertanyaanku dengan nada yang lebih membentak. Tapi
papa tetap saja diam. Ditya selalu menunduk. Benarkah bahwa Ditya adalah
pengecut?
Jebred ! ku
bantingpintu itu, kesal benar melihat sikap papa yang tak biasanya begitu. Aku
yakin ada sesuatu yang disembunyikan oleh mereka. Benar ternyata, papa mulai
berbiara manis layak ayah dengan anak laki-lakinya yang mengandung unsure rindu
berjuta-juta. Aku lihat papa memeluknya dngan tangis dan bahagia, ada apa
sebenarnya? “ Dit, papa tak mau ada yang terluka diantara kalian”
“ ya,pa” kenapa
ditya panggil papa dengan sebutan papa dan menyebut dirinya papa dihadapan
ditya, pacarku?
“ kenapa kau tak
kasi tahu yang sebenarnya sayang?”
“ aku tak
sanggup. Beri aku waktu. Aku sangat mencintainya. Bahkan Caca adalah wakil
dalam hidupku biarpun aku tak mungkin bersama.”
Sebenarnya?kebenaran yang mana ? aku
butuh tahu itu, kenapa aku teralalu bodoh sekarang. “ kebenaran yang mana?
Kenapa kita tak bisa bertanya Ditya?” tanyaku seketika. Mereka saling
berpandangan.” Kenapa kau sebut papa?” tanyaku kemudian.”dan kenapa papa
panggil Ditya sayang?” tanyaku beruntut sepur bahkan papa tak mengeluarkan
apapun. Kali ini papa menunggureaksi Ditya. “ kenapa semua tak jujur!”
“ Ca, mungkin
kau harus tau sekarang. Walau mungkin berat. Sebenarnya…sebenarnya… aku tak
mampu pa!” tangis Ditya, baru kali ini aku lihat sang pangeran hidupku menangis
di depanku… “ tau apa pa ?” pertanyaanku kali ini menjurus papa!” Ditya adalah
anak dari pacar papa”
“ terus hubungannya
apa? Bukankah Cuma masa lalu?” potongku
“ Ditya adalah
anak pacar papa dengan papa Ca!”
Oh…. Laying-layang yang akan bawa
aku terbang, mentari yang buat aku tersenyum akan menjadi duri seperti saat
sekarang ini dan membatu, terpisah bagai air dan minyak. Tak mungkin akan
bersama… padahal sang mentari mencintainya sepenuh hidupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar